Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia
Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan dan kejahatan perang.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil dengan tujuan ::
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan
(c) Perbudakan;
(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk
(e) Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain
(f) Menganiaya;
(g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;
(h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional
(i) Penghilangan seseorang secara paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.
Kejahatan Kemanusiaan
Posted by anju 0 comments
Labels: Kewarganegaraan
ETIKA LINGKUNGAN HIDUP
Akhir-akhir ini, perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidupnya semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang semakin banyak dan pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau planet bumi sedang sakit atau rusak. Sakit atau rusaknya planet bumi itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Sebenarnya proses perusakan lingkungan sudah berjalan lama, yaitu sejak dimulainya proses industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali.
Alam dilihat tidak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya "non-renewable resources") semakin menipis.
Pengelolaan alam secara mekanistik yang diikuti pula oleh pertumbuhan demografi yang terus melaju sehingga pada akhir dekade 1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk dunia". Kenyataan itu mendorong digerakkannya pembangunan yang berorientasi pada "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran saja, tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat manusia yang semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan pertanian. Perusakan ini diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian, digunakan pupuk kimia, dan untuk menjaga panen dari serangan hama, digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat. Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.
Dari keterangan di atas, menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit atau rusak datang dari manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan mengonsumsi sumber-sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran atau proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber-sumber secara masal, intensif, dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah lagi, yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri, sehingga ia seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia, dengan mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya terhadap alam.
Posted by anju 0 comments
Labels: Kewarganegaraan
DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
"Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time."
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituante) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi.
Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Posted by anju 0 comments
Labels: Kewarganegaraan
Perjanjian Batas Negara
** PERJANJIAN DI PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA
Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani perjanjian the first Joint Investment and Trade Committee (JICT) untuk meningkatkan perdaganan dan investasi antara kedua negara. Penandatangan kesepakatan tersebut dilakukan oleh wakil dari masing-masing negara yakni Menteri Perdagangan. Salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan adalah pemeriksaan kembali perjanjian perdagangan perbatasan yang telah dibuat pada tahun 1970. Kedua negara telah bersetuju untuk mengadakan perbaikan perjanjian sesegera mungkin.
Kedua menteri juga membahas masalah-masalah tentang kerjasama perdagangan dan investasi, termasuk suatu peraturan untuk memeriksa ekspor keramik Malaysia ke Indonesia. Indonesia dan Malaysia juga setuju untuk membahas isu-isu tentang sertifikat negara asal sepanjang itu didasarkan pada the common effective preferential tariffs (CEPT) untuk AFTA (ASEAN Free Trade Area).
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia.Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat:Sengketa Sipadan dan Ligitan).
Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969.Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.
Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Posted by anju 0 comments
Labels: Kewarganegaraan
Permasalahan Batas Negara
•Dampak yang timbul akibat permasalahan batas negara antara Indonesia dan Papua Nugini
Indonesia kembali mendapat protes dari Negara Papua Nugini soal batas Negara. Pergeseran Batas wilayah dimana Indonesia telah memasuki batas Negara PNG sejauh 2 kilo meter. Batas awal adalah Jembatan Muara Tami, namun sekarang dimana berdirinya tugu perbatasan, Indonesia telah berada dalam garis batas Negara PNG.
Fenomena sengketa batas Negara memang sering melanda Negara Indonesia.
Dari kesekian kalinya, kini keributan akibat sabotase wilayah sudah mulai
terjadi. Masalah Batas belum sampai parah di mata public. Namun realitas di lapangan situasinya cukup panas. Barikade militer Indonesia dan Papua Nugini yang di bekap militer Australia sudah menunjukan tanda-tanda gerah artinya tinggal menunggu waktu sengketa batas muncul di permukaan.
** Parade Militer di Batas Cukup Membahayakan Penduduk Sipil
Masyarakat sipil yang berada di wilayah perbatasan mendapat tekanan bahkan intimidasi yang luar biasa dilancarkan oleh militer Indonesia.
Berbagai rekayasa konflik sedang dijalankan dengan tujuan untuk menciptakan konflik di perkampungan. Para tokoh kepala suku diperkampungan di tuding oleh orang tak bertanggungjawab bahwa mereka ( kepala suku ) yang menyiapkan provokasi untuk rakyat sipil menyerang aparat preman (intel ) seperti peristiwa pemukulan terhadap dua pasukan preman Kopasus di Kampung Skamto Kabupaten Keerom pada 30 Juni silam.
Kekerasan Militer di masa Daerah Operasi Militer ( DOM ) cukup membuat penduduk setempat mengalami trauma yang dalam. Dimana pengalaman membabibuta diterapkan oleh militer Jakarta, sampai sekarang dengan kasus perbatasan rakyat semakin berada dalam situasi yang tidak aman.
Kami taramau kalo terjadi gencatan senjata di perbatasan, pasti kami orang
kecil di kampung di tembak tak karuan oleh TNI mereka karena mereka sering tembak tak karuan baru tuduh rakyat disini sebagai OPM…ujar salah seorang Kepala suku di perbatasan mengutarakan kebiasan operasi militer di kampungnya. Setiap malam parade militer menggunakan kendaraan lalu lalang dengan bunyian-bunyian sirene menakutkan.
Negara Indonesia sudah saatnya tidak menggunakan cara huru hara dalam menyelesaikan masalah. Konflik perbatasan sekarang harus di selesaikan secara baik tanpa mengorbankan rakyat sipil tak berdosa. Penggunaan strategi tempur dengan menjadikan penduduk sipil sebagai tumbal akibat kegagalan operasi menghadap Negara lain tidak harus terjadi di Perbatasan Papua.
Semua kalangan harus segera memantau di titik perbatasan RI dan Papua Nugini guna kontrol bersama agar tidak terjadi amburadur penyelesaian masalah, terutama penekanan pada profesionalisme aparat
militer dalam penyelesaian kasus sengketa perbatasan.
Posted by anju 0 comments
Labels: Kewarganegaraan